Desa saat ini mendapatkan perhatian yang cukup baik dari pemerintah. Berbagai kebijakan baik tata kelola organisasi, politik maupun keuangan telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian bukan berarti masalah-masalah di desa tidak ada lagi. Berikut adalah beberapa isu strategi tentang desa.
Pemekaran Desa
Pemekaran desa banyak dilakukan dengan bertujuan utamanya adalah untuk mempercepat pertumbuhan pembangunan, dengan melakukan pemekaran, wilayah pengabdian otomatis menjadi lebih sempit dan terukur. Namun percepatan pembangunan tersebut tidak akan terwujud apabila terselip niat terselubung lain. Pada prinsipnya pemekaran desa dibenarkan oleh Undang-undang. Selama alur pemekaran dilakukan sesuai dengan prosedur atau mekanisme yang tidak bertentangan dengan UU Desa. Dan yang perlu digaris bawahi adalah, tujuan pemekaran desa harus berdasarkan urgensi semangat untuk membangun desa, guna meningkatkan kualitas dari desa itu sendiri. Dengan alasan agar dapat menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang lebih terukur.
Pembentukan Desa itu sendiri dilakukan melalui Desa persiapan. Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk. Desa persiapan dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 sampai 3 tahun. Peningkatan status dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi. Prosedur-prosedur dalam melakukan Pemekaran Desa menurut UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, syarat pemekaran desa adalah antara lain sebagai berikut :
1. Batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan.
2. Jumlah penduduk (harus sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam pasal 8 UU Desa).
3. Wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antar wilayah.
4. Sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa.
5. Memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung.
6. Batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk Peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota.
7. Sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik, serta
tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perangkat Desa
Perangkat Desa bisa dibilang adalah merupakan seseorang yang berkedudukan sebagai unsur pembantu dari Kepala Desa yang tergabung didalam suatu pemerintahan desa. Dan untuk sekarang untuk menjadi seorang perangkat desa minimal pendidikan SMA, Karena tugas dari perangkat desa sekarang bisa dibilang sudah berubah dari tahun ketahun. maka dengan demikian basic pendidikan adalah slah satu hal yang paling diutamakan.
Keinginan untuk menjadi perangkat desa sekarang banyak diminati dikalangan masyarakat, karena sekarang tunjangan dari pemerintah kabupaten mulai diterjunkan kepada perangkat desa. Adanya Penghasilan Tetap yakni gaji yang diberikan secara rutin tiap bulan yang langsung disalurkan dari anggaran ADD.
Perangkat Desa diatur dalam Pasal 48-53 UU Desa. Secara ringkas, pasal-pasal ini mengatur tentang kedudukan dan tugas Perangkat Desa, pengangkatan dan pemberhentian, penghasilan, serta larangan-larangan dalam menjalankan tugas.
Istilah Perangkat Desa sebenarnya bisa dibilang sudah dikenal dalam perundang-undangan mengenai desa sebelum lahirnya UU Desa. Yang berbeda adalah rinciannya. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, misalnya, hanya memasukkan sekretaris desa dan kepala-kepala dusun sebagai perangkat desa. Sedangkan dalam UU Desa dikenal sekretaris desa, pelaksana teknis, dan pelaksana kewilayahan.
Keberadaan Perangkat Desa menjadi salah satu isu penting bidang pemerintahan desa yang dirumuskan dalam Naskah Akademik, bahwasannya Kepala Desa dibantu oleh unsur pemerintahan desa yang meliputi sekretaris desa dan perangkat desa. Struktur organisasi pemerintah desa ditetapkan melalui Peraturan Desa dengan memperhatikan model dan kewenangan desa. UU ini mengatur mengenai perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat desa lainnya), baik dalam sistem rekrutmen, pemberian tunjangan, penghargaan. Rekrutmen sekretaris desa dan perangkat desa didasarkan pinsip-prinsip profesionalitas, transparan, serta akuntabel.
Pendampingan Desa
Pendampingan Desa adalah merupakan kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa. Pendampingan Desa bukanlah mendampingi pelaksanaan proyek yang masuk ke desa, bukan pula mendampingi dan mengawasi penggunaan Dana Desa, tetapi melakukan pendampingan secara utuh terhadap desa. Misi besar daripada pendampingan desa adalah memberdayakan desa sebagai self governing community yang maju, kuat, mandiri serta demokratis. Kegiatan pendampingan membentang mulai dari pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesadaran kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi-organisasi warga, memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat musyawarah desa sebagai arena demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut jejaring dan kerjasama desa, hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dengan masyarakat.
Pendampingan Desa menjadi bagian penting dari komitmen untuk mewujudkan desa yang kuat dan mandiri. Pendampingan desa merupakan serangkaian tindakan pemberdayaan masyarakat, seperti pendampingan, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi desa. Selain itu, Pendampingan Desa juga bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan prakarsa desa, kesadaran, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan. Desa didorong memiliki kapasitas yang memadai, mengoptimalkan aset lokal, bekerja secara akuntabel dan transparan, serta sinergitas program pembangunan desa antarsektor. Pendampingan Desa juga bisa dibilang harus tidak boleh seragam, dia harus luwes dan kontekstual. Pendampingan Desa harus menyesuaikan kondisi dan kebutuhan lokal. Pemerintah cukup memberikan idiom “bebas melakukan apapun kecuali yang dilarang”, kreativitas akan tetap tumbuh dan terjaga.
Pendampingan Desa juga mencakup pengembangan kapasitas teknokratis dan pendidikan politik. Kapasitas teknokratis yang mencakup pengembangan pengetahuan dan keterampilan terhadap para pelaku desa dalam hal pengelolaan perencanaan, penganggaran, keuangan, administrasi, sistem informasi dan sebagainya. Pendidikan politik berorientasi pada penguatan active and critical citizen, yakni warga yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan bermartabat. Hal ini antara lain merupakan kaderisasi yang melahirkan kader-kader lokal militan sebagai penggerak pembangunan desa dan demokratisasi. Kaderisasi tidak identik dengan pendidikan dan pelatihan, namun juga membuka ruang-ruang publik politik dan mengakses pada forum musyawarah desa, yang membicarakan dan memperjuangkan kepentingan warga. Kepemimpinan lokal yang berbasis masyarakat, demokratis dan visioner bisa dilahirkan melalui kaderisasi ini, sekaligus emansipasi para kader dalam kehidupan berdesa.
Pendampingan Desa juga bisa dibilang tidak boleh bersifat apolitik, tetapi harus berorientasi pada politik. Pendampingan apolitik hadir dalam bentuk pengembangan kapasitas teknokratis dalam pembangunan desa, termasuk pembentukan keterampilan berusaha, tanpa menyentuh penguatan tradisi berdesa dan penguatan kekuasaan, hak dan kepentingan warga. Kapasitas teknokratis sangat penting tetapi tidak cukup untuk memperkuat desa. Karena itu pendampingan harus bersifat politik. Politik dalam konteks ini bukan dalam pengertian perebutan kekuasaan, melainkan penguatan pengetahuan dan kesadaran akan hak, kepentingan dan kekuasaan mereka, dan organisasi mereka merupakan kekuatan representasi politik untuk berkontestasi mengakses arena dan sumberdaya desa. Pendekatan pendampingan yang berorientasi politik ini akan memperkuat kuasa rakyat sekaligus membuat sistem desa menjadi lebih demokratis.
Para Pendamping Desa bukan hanya memfasilitasi pembelajaran serta pengembangan kapasitas saja, tetapi juga mengisi harus dapat ruang-ruang kosong baik secara vertikal maupun horizontal. Mengisi ruang kosong identik dengan membangun “jembatan sosial” (social bridging) dan jembatan politik (political bridging). Pada ranah desa, ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi dinamis (disengagement) antara warga, pemerintah desa dan lembaga-lembaga desa lainnya. Pada ranah yang lebih luas, ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi antara desa dengan pemerintah supra desa. Karena itu pendamping adalah aktor yang membangun jembatan atau memfasilitasi engagement baik antara warga dengan lembaga-lembaga desa maupun pemerintah desa, agar bangunan desa yang kolektif, inklusif dan demokratis. Engagement antara desa dengan supradesa juga perlu dibangun untuk memperkuat akses desa ke atas, sekaligus memperkuat kemandirian dan kedaulatan desa. Ruang kosong horizontal biasanya berbentuk densitas sosial yang terlalu jauh antara kelompok-kelompok masyarakat yang terikat (social bonding) berdasarkan jalinan parokhial (agama, suku, kekerabatan, golongan dan sebagainya). Ikatan sosial berbasis parokhial ini umumnya melemahkan kohesivitas sosial (bermasyarakat), mengurangi perhatian warga pada isu-isu publik, dan melemahkan tradisi berdesa. Karena itu ruang kosong horizontal itu perlu dirajut oleh para pendamping agar tradisi berdesa bisa tumbuh dan desa bisa bertenaga secara sosial.
Pendampingan Desa secara fasilitatif dari luar tidak cukup dilakukan oleh aparat negara, tetapi juga perlu melibatkan unsur organisasi masyarakat sipil (NGOs lokal dan lokal, perguruan tinggi, lembaga-lembaga internasional) maupun perusahaan. Pemerintah melakukan contracting out pada perusahaan untuk mengelola fasilitator, atau mengandalkan aparat birokrasi, merupakan cara yang keliru. Selama ini mereka miskin metodologi pendampingan, dan mereka mungkin mampu mengembangkan kapasitas teknokratis, tetapi mereka bukan aktor yang tepat untuk melakukan kaderisasi. Dengan berpijak pada prinsip “negara yang padat” (congested state), pemerintah harus berjaringan dan bekerjasama dengan unsur-unsur organisasi masyarakat sipil serta melibatkan dukungan perusahaan. NGOs lokal, yang mempunyai tradisi dan jaringan dengan NGOs nasional dan lembaga-lembaga internasional, mempunyai tradisi yang kuat dalam menerapkan pendekatan politik dalam pendampingan.
Pendampingan Desa juga tidak boleh melahirkan ketergantungan sehingga masyarakat desa menjadi tidak produktif. Selama proses pendampingan, aktor-aktor lokal harus diberdayakan supaya mereka dapat memerankan fungsi fasilitator setelah program selesai. Praktik ini akan mendorong pola pembangunan yang digerakkan oleh desa yang bersifat kolektif, inklusif, partisipatif, dan akuntabel. Dan desa sebaiknya menggunakan wewenang untuk belanja keahlian dan pendamping sehingga rekruitmen pendamping tidak dikendalikan secara sentralistik dari Jakarta. Demokrasi desa adalah dari desa, oleh desa, dan untuk desa.
Penyaluran Dana Desa
Untuk memperkuat pembangunan dalam desa, maka diterapkanlah Penyaluran Dana Desa yang mana dilakukan dengan menggunakan alokasi dana yang dibagi secara merata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis. Dana ini bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota dan serta digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Penyaluran Dana Desa akan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pembangunan kesejahteraan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari suatu pembangunan.
Pemilihan Kepala Desa
Akhir-akhir ini ada kecenderungan Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak dalam satu kabupaten, yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan agar pelaksanaannya lebih efektif, efisien, dan lebih terkoordinasi dari sisi keamanan. Pemilihan kepala desa merupakan praktek demokrasi di daerah pedesaan yang menyangkut aspek legitimasi kekuasaan dan aspek penentuan kekuasaan sehingga akan mengundang kompetisi dari golongan minoritas untuk merebut jabatan kepala desa untuk mendapatkan jabatan kepala desa tersebut di butuhkan partisipasi aktif dari masyarakat yang pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban pada masyarakat itu sendiri dalam Pemilihan Kepala Desa.
Mengingat fungsi Aparatur Pemerintahan Desa yang sangat menentukan maka calon kepala desa yang terpilih seharusnya bukan saja sekedar seorang yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan, akan tetapi disamping memenuhi syarat yang cukup dan dapat di terima dengan baik oleh masyarakat juga mampu melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan sebagai pembina masyarakat serta berjiwa panutan dan suri tauladan bagi warga desanya, untuk itu harus benar-benar seorang pancasila sejati yang penuh dedikasi dan loyalitas yang cukup tinggi.
Pemilihan Kepala Desa dapat dijadikan sebagai salah satu sarana pendidikan politik masyarakat. Dalam arti yang sempit, pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan mengahayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik ideal yang hendak dibangun. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Desa
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama yakni UU No. 32/2004 Pasal 206 hanyalah membagi kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa. Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa titik berat UU No. 32/2004 tidak secara spesifik memberikan perhatian kepada kewenangan desa, tetapi lebih memberikan titik tekan pada pembagian urusan pemerintahan saja.
Sedangkan pembagian urusan pemerintahan yang berlaku saat ini, dan relasinya dengan kewenangan desa, dapat dilihat dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa urusan pemerintah dibagi menjadi tiga yakni urusan absolut, urusan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut adalah urusan yang hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, urusan konkuren adalah urusan pemerintah pusat yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, dan urusan pemerintahan umum adalah urusan yang dijalankan kewenangannya oleh Presiden. Dalam semesta pembagian urusan ini, Desa dapat menjalankan urusan konkuren yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan Gubernur jika yang memberikan tugas adalah pemerintah provinsi dan peraturan Bupati/Walikota jika yang memberikan tugas adalah pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam pengelompokannya, Kewenangan yang dimiliki Desa meliputi : kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa. Dalam Pasal 19 dan 103 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, yakni meliputi :
1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
2. Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundangundangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari empat kewenangan tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, terdapat beberapa prinsip penting yang dimiliki desa. Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun. 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun. 2005 tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas. Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh undangundang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.
Kewenangan berdasarkan hak asal usul merupakan kewenangan warisan yang masih hidup dan atas prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Sedangkan kewenangan lokal berskala Desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa. Kedua kewenangan ini merupakan harapan menjadikan desa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Dengan kedua kewenangan ini Desa mempunyai hak mengatur dan mengurus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU Desa, Desa maupun Desa Adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjalankan aturan tersebut. Atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta akan dapat menyelesaikan masalah yang muncul.
Regulasi Terkait Desa
Pasal 69 UU Desa menjelaskan, regulasi di Desa meliputi : Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa dan Peraturan Kepala Desa. Dan peraturan-peraturan tersebut ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD sebagai sebuah kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa.
Penyusunan regulasi yang aspiratif dan partisipatif hendaknya mencerminkan komitmen bersama antara Kepala Desa (Kades), Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat desa. Komitmen bersama ini diharapkanjadi proses demokratisasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi masyarakat desa sudah diberi wewenang oleh pemerintah untuk mengatur dirinya sendiri, yaitu melalui Perdes yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Desa demokratis berakar pada asas musyawarah, asas demokrasi, asas partisipasi, dan asas kesetaraan. Dan musyawarah desa yang menjadi forum permusyawaratan merupakan hal yang paling fundamental. Dalam musyawarah Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa harus aktif ikut memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa untuk menjadi sebuah peraturan desa dalam Pasal 37 – 38 PP No. 43 serta Pasal 15 – 20 Permendesa PDTT No. 1 Tahun 2015 dijelaskan secara gamblang yang secara garis besarnya yakni sebagaimana berikut :
1. Identifikasi dan interisasi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten dengan mendapatkan usulan-usulan dari Desa. Desa membuat daftar positif (positive list).
2. Setelah teridentifikasi dan terinventarisir, dibuatlah daftar kewenangan dengan ditetapkan melalui sebuah peraturan bupati dan dibahas dengan melibatkan partisipasi desa dan pihak-pihak lain.
3. Selanjutnya, Bupati melakukan sosialisai daftar kewenangan kepada desa dilanjutkan penetapan daftar kewenangan.
4. Kepala desa bersama BPD dengan melibatkan masyarakat memilih kewenangan sesuai kebutuhan dan kondisi desa.
5. Dan kalau dipandang perlu untuk menambahkan kewenangan untuk ditetapkan menjadi suatu regulasi, maka hal itu bisa dilakukan dengan mengusulkan lagi ke Bupati.
Dalam tahapan-tahapan, mulai dari pemunculan kewenangan, menentukan dan memilih kewenangan sampai menjadi suatu regulasi yang efektif, keikutsertaan ketiga pihak (pemerintah desa, BPD dan masyarakat) sangat-lah penting dan menentukan. Dan hal itu menjadi suatu keharusan, karena Perdes ini merupakan pijakan dan fundasi kebijakan, program, dan administrasi desa dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta juga pemberdayaan kepada masyarakat desanya.
إرسال تعليق